Manusia adalah
makhluk hidup yang sejak lahir memiliki hak untuk memperoleh kehidupan yang
layak, aman dan nyaman, untuk mendapatkan hak tersebut tentunya faktor lingkungan
merupakan faktor yang paling berpengaruh. Kota Pekalongan terkenal dengan
julukan kota batik, itu dikarenakan sebagian besar warga kota Pekalongan
bekerja di bidang industri batik, baik batik tulis, cap maupun batik printing,
dan seluruh proses pembuatan kain batik tersebut dilakukan di wilayah kota Pekalongan
dari pembuatan motif, pewarnaan, hingga sampai pembuangan limbah batik. Kita akan
fokus terhadap perilaku pengusaha batik di kota Pekalongan yang membuang limbah
batik ke sungai hingga membuat sungai-sungai di kota Pekalongan tercemar oleh
limbah batik tersebut.
Bila kita berkeliling kota Pekalongan,
kita akan menjumpai banyak sungai-sungai besar atau sungai kecil, dan yang
membuat kita merasa heran mengapa banyak sungai-sungai kecil di kota Pekalongan
berwarna hitam pekat dan mengeluarkan aroma yang tidak enak, jika kita sudah
lama tinggal di kota Pekalongan tentunya sudah mengerti penyebab warna sungai
menjadi hitam dan beraroma tidak enak, namun bagi orang-orang baru tinggal di
kota Pekalongan atau hanya melintas saja pasti dalam hati bertanya mengapa air
sungai di kota Pekalongan berwarna hitam.
Dari deskripsi
di atas tentunya kita akan bertanya bagaimana perilaku budaya budaya hukum pelaku
usaha industri batik di kota Pekalongan. Budaya hukum pelaku usaha batik
terhadap limbah batik adalah sebagai berikut:
1.
Budaya bersikap cenderung
masa bodoh dengan tidak memperdulikan terhadap lingkungan hidup sekitar dengan
alasan yang paling penting adalah masalah pemenuhan kebutuhan hidup dari pada
mengangkat isu tentang lingkungan hidup.
2.
Budaya menerima begitu saja
terhadap apa yang terjadi menyangkut kondisi kualitas lingkungan yang buruk,
pasrah dan menganggap biasa masalah pencemaran, karena sumber penghidupan
mereka dari batik itu sendiri.
3.
Faktor pendidikan formal
pengusaha batik yang masih rendah, sehingga terbentuk pola-pola interaksi
sosial yang berwujud pada sikap, nilai-nilai, ide, dan budaya hukum yang kurang
perduli, relatif pasrah, bersikap menerima begitu saja terhadap apa yang
terjadi, bahkan ada kecenderungan bersifat kemasabodohan, tanpa mampu bersikap
proaktif dan turut terlibat untuk memikirkan dan bertindak positif kearah
perbaikan dan pemulihan kondisi lingkungan dan keperdulian terhadap lingkungan
sekitar masih sangat kurang.
4.
Pemahaman para pengusaha
batik mengenai Undang-Undang atau produk hukum lain yang mengatur tentang
pengelolaan lingkungan hidup masih sangat minim dan ketidaktahuan mereka
tentang bahaya racun limbah. Hal ini menyebabkan mereka cenderung tidak peduli.
5.
Budaya yang memandang remeh
masalah pencemaran dan lebih mementingkan keuntungan bisnis batik semata,
bahkan ada lelucon yang menyatakan bahwa bila air sungai yang mengalir di Kota Pekalongan
jernih, berarti perekonomian masyarakat Pekalongan sedang jatuh. Sebaliknya,
bila air sungai berwarn berarti perekonomian masyarakat Kota Pekalongan sedang
baik.[1]
Negara dalam hal
ini pemerintah tentu sudah mengatur mengenai pengelolaan limbah dari industri
batik tersebut yakni :
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
- Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
- Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Meskipun
berbagai undang-undang dan peraturan telah dibuat, namun belum efektif dalam
mengatasi kasus pencemaran air limbah batik di Kota Pekalongan. Hal ini dapat
disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di Kota Pekalongan terkait dengan
masalah pencemaran lingkungan, serta budaya hukum yang belum sesuai yang
diinginkan yakni mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, aman dan nyaman demi
meningkatkan kualitas hidup manusia.
[1]
Amaranthi adam dalam halaman internet http://andam-amaranthi.blogspot.co.id/2013/08/budaya-hukum-masyarakat-dan-kebijakan.html