Blogger news

Mari saling berbagi informasi dan berbagi ilmu

Sabtu, 19 Maret 2016

Budaya Hukum Pelaku Usaha Batik Terhadap Limbah Cair Batik Di Kota Pekalongan



Manusia adalah makhluk hidup yang sejak lahir memiliki hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, aman dan nyaman, untuk mendapatkan hak tersebut tentunya faktor lingkungan merupakan faktor yang paling berpengaruh. Kota Pekalongan terkenal dengan julukan kota batik, itu dikarenakan sebagian besar warga kota Pekalongan bekerja di bidang industri batik, baik batik tulis, cap maupun batik printing, dan seluruh proses pembuatan kain batik tersebut dilakukan di wilayah kota Pekalongan dari pembuatan motif, pewarnaan, hingga sampai pembuangan limbah batik. Kita akan fokus terhadap perilaku pengusaha batik di kota Pekalongan yang membuang limbah batik ke sungai hingga membuat sungai-sungai di kota Pekalongan tercemar oleh limbah batik tersebut.
                Bila kita berkeliling kota Pekalongan, kita akan menjumpai banyak sungai-sungai besar atau sungai kecil, dan yang membuat kita merasa heran mengapa banyak sungai-sungai kecil di kota Pekalongan berwarna hitam pekat dan mengeluarkan aroma yang tidak enak, jika kita sudah lama tinggal di kota Pekalongan tentunya sudah mengerti penyebab warna sungai menjadi hitam dan beraroma tidak enak, namun bagi orang-orang baru tinggal di kota Pekalongan atau hanya melintas saja pasti dalam hati bertanya mengapa air sungai di kota Pekalongan berwarna hitam.
Dari deskripsi di atas tentunya kita akan bertanya bagaimana perilaku budaya budaya hukum pelaku usaha industri batik di kota Pekalongan. Budaya hukum pelaku usaha batik terhadap limbah batik adalah sebagai berikut:
1.       Budaya bersikap cenderung masa bodoh dengan tidak memperdulikan terhadap lingkungan hidup sekitar dengan alasan yang paling penting adalah masalah pemenuhan kebutuhan hidup dari pada mengangkat isu tentang lingkungan hidup.
2.       Budaya menerima begitu saja terhadap apa yang terjadi menyangkut kondisi kualitas lingkungan yang buruk, pasrah dan menganggap biasa masalah pencemaran, karena sumber penghidupan mereka dari batik itu sendiri.
3.       Faktor pendidikan formal pengusaha batik yang masih rendah, sehingga terbentuk pola-pola interaksi sosial yang berwujud pada sikap, nilai-nilai, ide, dan budaya hukum yang kurang perduli, relatif pasrah, bersikap menerima begitu saja terhadap apa yang terjadi, bahkan ada kecenderungan bersifat kemasabodohan, tanpa mampu bersikap proaktif dan turut terlibat untuk memikirkan dan bertindak positif kearah perbaikan dan pemulihan kondisi lingkungan dan keperdulian terhadap lingkungan sekitar masih sangat kurang.
4.       Pemahaman para pengusaha batik mengenai Undang-Undang atau produk hukum lain yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup masih sangat minim dan ketidaktahuan mereka tentang bahaya racun limbah. Hal ini menyebabkan mereka cenderung tidak peduli.
5.       Budaya yang memandang remeh masalah pencemaran dan lebih mementingkan keuntungan bisnis batik semata, bahkan ada lelucon yang menyatakan bahwa bila air sungai yang mengalir di Kota Pekalongan jernih, berarti perekonomian masyarakat Pekalongan sedang jatuh. Sebaliknya, bila air sungai berwarn berarti perekonomian masyarakat Kota Pekalongan sedang baik.[1]
Negara dalam hal ini pemerintah tentu sudah mengatur mengenai pengelolaan limbah dari industri batik tersebut yakni :

  1.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air.
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
  4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.


                Meskipun berbagai undang-undang dan peraturan telah dibuat, namun belum efektif dalam mengatasi kasus pencemaran air limbah batik di Kota Pekalongan. Hal ini dapat disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di Kota Pekalongan terkait dengan masalah pencemaran lingkungan, serta budaya hukum yang belum sesuai yang diinginkan yakni mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, aman dan nyaman demi meningkatkan kualitas hidup manusia.


[1] Amaranthi adam dalam halaman internet http://andam-amaranthi.blogspot.co.id/2013/08/budaya-hukum-masyarakat-dan-kebijakan.html